Minggu, 15 Mei 2011

Kaitan Stress dengan Lingkungan

Pengertian Stress

Stress menurut Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) merupakan respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan. Istilah stress dapat juga digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disebabkan oleh beberapa faktor psikologis atau faktor fisik atau dapat pula kedua faktor tersebut.

Sedangkan menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Keadaan stress muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang (Korchin, 1976).

Sarafino (1994) mengkonseptualkan stress ke dalam tiga pendekatan, yaitu

1. Stimulus

Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut stressor. Stressor dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

a. Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado, gempa bumi

b. Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan orang yang dicintai

c. Keadaan kronis, misalnya hidup dalam keadaan bising.

2. Respon

Respon adalah reaksi seseorang terhadap stressor. Terdapat dua komponen yang saling berhubungan, yaitu :

a. Komponen psikologis, seperti : perilaku, pola berpikir, dan emosi

b. Komponen fisiologis, seperti : detak jantung, keringat

3. Proses

Proses melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antara manusia dengan lingkungan, yang di dalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaiman orang lain merasakannya.

Model Stress

Cox (dalam Crider dkk, 1983) mengemukakan 3 model stress, yaitu :

a. Response-based model

Model ini mencoba untuk mengidentifikasikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkungan yang sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon merupakan suatu sindrom. Pusat dari model ini bagaiman stressor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama.

b. Stimulus-based model

Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress sebagai berikut :

1. Overload

Karakteristik ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengaaptasikan lebih lama lagi.

2. Conflict

Konflik diukur ketika stimulus dapat membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi konflik bersifat ambigu, tidak memperhitungkan respon yang wajar.

3. Uncontrollability

Uncontrollability adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas atau tidak tergantungpada perilaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi. Stres diproduksi oleh stimulus aversive, dampak stresnya dapat diperkecil jika individu dapat mengontrolnya.

c. Interactional model

Model ini merupakan perpaduan antara response-based model dan stimulus-based model. Pendekatan interaksional beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stre di dalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stressor, tuntutan dan kemampuan mengcoping.

Jenis Stres

Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang dibedakan menjadi 2, yaitu systematic stress yang didefinisikan oleh Hans Selye sebagai respon nonspesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Dan psychological stres yang terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat melampaui kemampuan copingnya.

Hubungan Stres dengan Lingkungan

Menurut Iskandar (1990), proses terjadinya stress juga melibatkan komponen kognitif. Stres yang diakibatkan oleh kepadatan ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung meningkat dan tekanan darah naik, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut maka seseorang akan mengalami kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi stress. Dalam banyak kasus, stimulus yang tidak menyenangkan sering kali muncul, sehingga reaksi terhadap stress menjadi berkurang dan melemah. Proses ini secara psikologis dikatakan sebagai adaptasi.

Pembangunan perumahan yang tidsk memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial merupakan sumber stress bagi penghuninya. Misalnya pengaturan udara yang tidak memadai, tidak adanya pengamanan, tidak menyediakan tempat umum dan sebagainya.

Lazarus dan Folkman (dalam Baron dan Byrne, 1991) mengidentifikasikan stress lingkungan sebagai ancaman yang datang dari luar. Setiap individu selalu mencoba untuk coping dan beradaptasi dengan ketakutan, kecemasan dan kemarahan.

Menurut Fontana (1989) stress lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang rebut, jalan yang tidak aman dan lain-lain. Sumber utama stress di di dalam dan di sekitar lingkungan sebagai berikut :

a. Stres karena teman kerja

b. Stres karena anak-anak

c. Stres karena pengaturan temoat tinggal setempat

d. Tekanan-tekanan lingkungan

Sedangkan menurut Baum, Singer dan Baum (dalam Evans, 1982) faktor stress dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Stresor fisik, misalnya suara

2. Penerimaan individu tergadap stressor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor)

3. Dampak stressor pada organisme (dampak fisiologis)

CONTOH STRESS KARENA KEBISINGAN (Suara) DI TEMPAT KERJA

Kebisingan dapat terjadi di mana-mana termasuk di tempat kerja. Kebisingan di lingkunga kerja dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan performance dalam bekerja. Kebisingan di tempat kerja dapat menjadi stressor lingkungan bagi pekerja. Apalagi pekerja itu baru dan belum berpengalaman. Sedangkan pekerja yang sudah berpengalaman cenderung mampu beradaptasi dengan kebisingan di tempat kerja (Bell, dkk., 1996). Kebisingan mempunyai efek terhadap pekerja. Gangguan kesehatan merupakan salah satu efek negatif yang disebabkan oleh kebisingan (Beale dan Sullivian, 2002). Menurut Cohen dan Jensen (dalam Bell, dkk, 1996) kebisingan yang tinggi akan menimbulkan gangguan pada kardiovaskuler, alergi, sakit tenggorokan. Pada hasil penelitian ini, kebisingan yang tinggi dapat meningkat tekanan darah (blood pressure). Terdapat perbedaan tekanan darah antara kebisingan yang tinggi dan rendah. Hal ini terjadi karena stres dari efek kebisingan.

Seorang pekerja yang berada di lingkungan yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi dalam beberapa lama akan berdampak terhadap psikologisnya, salah satunya stres (Beale dan Sullivian, 2002). Selain itu kebisingan juga dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan akan memiliki pengaruh terhadap fisiologi (detak jantung) dan akan akhir menaikan tekanan darah (blood pressure) seseorang (Andrean, dalam Melamed,dkk., 2001). Seorang pekerja tentulah mengharapkan kondisi yang nyaman dalam lingkungan kerjanya. Ketika tingkat kebisingan tinggi; telah menjadi stressor yaang berlebihan, maka pekerja tidak lagi merasa enjoy dengan pekerjaannya, sehingga menimbukan ketidakpuasan dalam bekerja. Meunurut hukum Yerke-Dodson (dalam Bell, dkk., 1996) arousal (kebisingan) yang tingkatanya sedang dapat memunculkan performance yang maksimal pada seseorang. Kebisingan di sini menjadi sebuah arousal guna membangkitkan potensi seseorang dalam bekerja. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang mendapat arousal dari lingkungannya secara berlebihan akan menurunkan performance seseorang.

Kebisingan di tempat kerja berkorelasi negatif dengan kompleksitas pekerjaan. Artinya, semakin tinggi tingkat kebisingan maka tingkat pekerjaannya cenderung semakin mudah. Kita tahu seseorang dalam bekerja butuh konsentrasi. Apalagi pekerjaannya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, konsentrasi sangatlah dibutuhkan. Kebisingan dapat mempengaruhi kosentrasi seorang pekerja (Wallenius, 2004). Ketika konsentrasi seorang pekerja terganggu, maka tingkat penyelesaian pekerjaanya pun bisa terganggu. Untuk hal itu pekerjaan yang mudah akan meminimalisir kegagalan dalam menyelesaiakan pekerjaan. Kalau kita melihat tingkat kebisingan yang tinggi dengan menggunakan teori overload. Menurut teori ini manusia mempunyai keterbatasan dalam menerima stimulus yang berasal dari lingkungan. Kebisingan merupakan salah satu stimulus yang di hasilkan di lingkunan kerja. Ketika tingkat kebisingan tinggi, maka pekerja yang mempunyai pekerjaan yang sulit akan cenderung mengalami gangguan. Ini disebabkan ketidakamampuan kognitif dalam menerima begitu banyak stimulus. Sedangkan pada pekerjaan mudah, efek dari bising relatife kecil pada performance kerja. Maka dari itu, suatu pekerjaan dapat berjalan dengan baik tergantung pada baik atau buruknya lingkungan.

Referensi :

Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur, psikologi, dan masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma.

Vano. (2010). Kebisingan dan Kesehatan. http://vano2000.wordpress.com/2010/10/09/181/.