Rabu, 31 Maret 2010

Kesulitan Belajar Dipicu Karena Pola Asuh Yang Salah

Kesulitan belajar anak dapat muncul karena pola asuh orang tua yang salah seperti orang tua yang selalu menuntut anaknya untuk menjadi yang terbaik. Banyak anak kesulitan belajar berasal dari keluarga yang orang tuanya mempunyai pendidikan yang tinggi. Anak dituntut untuk memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari orang tuanya atau paling tidak sama seperti mereka.
Orang tua yang terlalu sibuk bekerja pun tidak dapat tanggap terhadap keluhan anak dalam belajar di sekolah. Hal – hal yang ingin anak sampaikan dalam kesulitannya belajar tidak tercapai. Orang tua biasanya hanya mempercayakan pendidikan anaknya di sekolah maupun tempat bimbingan belajar atau les. Orang tua tidak dapat membantu secara optimal anaknya seperti tidak dapat membantu anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah.
Orang tua yang terlalu membebaskan anaknya juga kurang baik. Hal ini diarenakan anak tidak dapat terkontrol kondisi belajarnya. Anak bisa saja jadi lebih banyak bermain daripada belajarnya. Orang tua yang overprotective juga kurang baik. Karena anak akan merasa terkekang oleh aturan – aturan orang tua. Anak bisa menjadi stres sehingga mereka belajar karena hal yang dipaksakan.
Masalah lain dalam kesulitan belajar juga sering muncul seperti keluarga sedang mengalami konflik, kepercayaan diri anak kurang, lungkungan sekolah kurang mendukung dan masalah kesehatan dan fisik.


Daftar Pustaka :

Drost, Wanei. G. K. (2003). Perilaku Anak Usia Dini Kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta:
Kanisius.

Karakteristik Anak Dalam Kesulitan Belajar

Menurut Johnson dan Morasky, dalam bukunya Learning Disabilities mereka menjelaskan karakteristik yang sering muncul pada anak yang mengalami kesulitan dalam hal belajar yaitu sebagai berikut :
1. Kegagalan yang berulang. Terjadi sedemikian rupa sehingga berbagai upaya yang dilakukan seperti les, remediasi, pelajaran tambahan, dororngan positif dari orang terdekat dan pemberian reward seolah tidak berguna.
2. Adanya kelemahan fisik yang mengganggu prestasi dan belajar anak. Misalnya gangguan pada penglihatan sehingga dibutuhkan alat bantu kacamata, gangguan pendengaran sehingga dibutuhkan alat bantu dengar dan lain – lain.
3. Menurunnya motivasi anak seperti adanya penolakan dari teman sekelas, hambatan dari guru dan sebagainya.
4. Kecemasan dalam diri anak yang dimulai dari kecemasan dalam kegagalan dalam bidang akademik kemudian menjadi meluas menjadi kecemasan dalam kehidupan anak sehari – hari. Misalnya anak selalu merasa gelisah, sering melamun, tidak bisa berkonsentrasi karena takut gagal.
5. Perilaku yang tidak stabil. Misalnya nilai raport anak naik turun.
6. Anak diberikan label oleh lingkungan baik keluarga maupun sekitar sehingga anak merasa tidak optimal dalam belajar. Misalnya anak selalu dianggap bodoh bahkan menderita retardasi mental.
7. Anak mendapatkan metode belajar yang tidak sesuai sehingga membuat anak merasa bosan dan sering berulah di kelas.

Selain karakteristik yang muncul ada juga keluhan – keluhan yang terjadi pada anak maupun dari guru. Keluhan – keluhannya yaitu :
1. Tugas tidak selesai tepat waktu, anak bingung tugas mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
2. Anak sering menunda pekerjaan dan mudah teralih perhatian dan minatnya oleh sesuatu hal yang menarik.
3. Muncul kecemasan anak dalam menghadapi ujian dan bidang studi tertentu sehingga anak kadang – kadang beralasan sakit untuk menghindarinya atau bahkan tidak mau masuk sekolah.
4. Anak cenderung malas berpikir sendiri, menunggu dan meniru temannya karena takut melakukan kesalahan.
5. Kesulitan dalam membaca dan menulis cepat.
6. Merasa rendah diri, takut berbicara di depan kelas.
7. Mudah berubah pikiran, ragu – ragu dalam menentukan pilihan.


Daftar Pustaka :

Drost, Wanei. G. K. (2003). Perilaku Anak Usia Dini Kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta:
Kanisius.

Senin, 29 Maret 2010

Gangguan Belajar Pada Anak

Pada tahun 1942, Werner dan Strauss mengajukan konsep Learning Disability “anak mengalami kerusakan otak” hingga muncul ke permukaan. Seiring berjalannya waktu konsep ini mulai berkembang.

Kecenderungan kesulitan belajar dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, Learning disability. Masalah ini bermula pada ketidakmampuan anak didik untuk melakukan tugas – tugas tertentu yang dapat dilakukan oleh anak sebayanya atau dengan kemampuan mental setara. Kedua, Learning Disorder. Pada masalah ini anak mengalami hambatan dalam belajar dikarenakan mengalamai kerusakan dalam system saraf.

Pada Learning disabilities, biasanya anak mengalami hambatan dalam perkembangan emosi, social dan potensi intelektual anak, mendapat perhatian lebih banyak. Banyak hal yang berkaitan dengan bagaimana proses mental dan kemampuan mental anak berkembang, motivasinya, sikapnya, persepsinya, bakat, minat dan kreativitasnya. Diperlukan kerja sama antara orang tua dan keluarga, serta guru untuk melihat sampai dimana anak menunujukkan potensinya. Dengan ahli terapi wicara dan bahasa untuk mengetahui kesulitan dalam hal berbicara. Dengan pakar medis, untuk mengetahui gangguan – gangguan fisik, anatomi, biokimia, alergi, hormonal , fungsi otot yang mungkin berperan.

Pada Learning Disorder, anak akan dirujuk untuk menjalani EEG (Electro Encephalogram) atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk melihat adanya kerusakan otak. Ketidaksempurnaan fungsi otak dapat terjadi karena kelainan seperti selama bayi dalam kandungan, kelahiran premature, trauma pada saat kelahiran, kecelakaan dan sakit pada masa bayi dan kanak – kanak awal.



Daftar Pustaka :

Drost, Wanei. G. K. (2003). Perilaku Anak Usia Dini Kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta:
Kanisius.

Selasa, 16 Maret 2010

Terapi Musik Pada Penyandang Autis

Musik memiliki keunggulan yang sangat berarti bagi terjadinya komunikasi nonverbal. Contohnya, pendidikan anak autis dalam kurikulumnya mengadakan terapi musik namun praktenya masih berorientasi pada peljaran musik. Hal ini berbeda dalam kerangka terapi.
Terapis cenderung melakuakan pendekatan dengan anak autis denga tujuan menciptakan ikatan antara pasien dan terapis. Pendekatan terbaik dalam terapi musik harus terbuka dan segala sesuatu harus disiapkan secara cermat.
Seorang terapis harus memberi kesempatan kepada pasiennya untuk bereksplorasi dengan alat musik dan memfasilitasi kenyamanan. Bebrapa perlakuan yang diberikan seperti membunyikan alat musik, sentuhan dan lain – lain. Maka setelah itu kenyamana yang dirasakan pada anak akan menjadi tahap awal yang mudah. Setekah itu terapis dapat mengeksplorasikan aktivitas yang lain. Sehingga terapis dapat mengembangkan komunikasi nonverbal melalui musik, maka komunikasi lain juga dapat disertalan selanjutnya.
Dari hasil riset dulaporkan bahwa anak autis dapat merespon musik dengan baik. Terapis memanipulasi boneka dengan berbagai gerakan sambil bernyanyi. Anak akan memperhatikan musik, boneka dan mempelajari kata kerja yang benar. Melalui lagu yang disusun sesuai kebutuhan, anak dapat memperlancar kemampuan bicaranya. Musik dapat menghapus kekurangan dan secara bertahap akan membekas hingga anak akan terbiasa dengan suara bicara yang alamiah. Bila anak lupa mengucapkan kalimat yang benar maka anak akan cepat mengingat lagu. (Staum, 1997)
Terapis musik juga dapa membantu pasien dalam menggerakan anggota tubuhnya. Beberapa terapis menggunakan musik berirama mars dan mengajak anak bergerak seirama dengan lagunya. Untuk menghindari gersksn yamg berulang terapis menggunakan tempo yang berbeda. Anak autis dapat diajak menari hingga tercipta kontak fisik dan percaya dengan terapisnya. Hal ini dapat meningkatkan system motorik pada anak autis melalui irama tersebut.


Daftar Pustaka :

Djohan. 2009. Psikologi Musik. Yogyakarta: Best Publisher.

Diagnosa Banding Anak Autis

Diagnosa banding penyakit pada anak ini meliputi :
a. Semua gangguan pervasif lain.
b. Mengalami gangguan sosio-emosional sekunder.
c. Gangguan attachment reaktif.
d. Keterlambatan mental. 70% anak autis memiliki ketertinggalan mental (Mental Retardation) dan sebagian lagi memiliki intelektual seperti anak normal.
e. Penyakit gangguan jiwa awal Schizhoprenia.
f. Pada Schizhoprenia berat dapat timbul autisme.
g. Gejala autis dan keterbelakangan mental anak autis saling tumpang tindih.
h. Sindroma Rett


Daftar Pustaka :

Yatim, Faisal. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak. Jakarta : Obor.

Diagnosa Anak Autis

Diagnosa Anak Autis

1. Berdasarkan pergaulan dan kurang bisa memperlihatkan seseorang dapat menarik perhatian anak autis.

2. Kualitas dalam berkomunikasi kurang, paling tidak terlihat pada salah satu gejala sebagai berikut :

- Kurang mampunya berbahasa dan diimbangi denga bahasa isyarat.

- Kurang mampu berbicara dengan teman sebayanya.

- Mengulang kata dan kalimat tertentu.

- Tidak dapat mempercayai teman.

3. Perilaku dan perhatian berulang – ulang. Misalnya :

- Pikiran yang berulang – ulang dan perhatian terbatas.

- Gerakan rutin yang dipaksakan.

- Gerakan otot berulang –ulang.

- Terpaku pada setiap bahan benda permainan seperti meraba –raba halusnya permukaan dan lain –lain.

4. Gambaran Klinis.

Sosial emosional yang tidak akrab dengan orang disekitarnya, gangguan mental dan gangguan emosi perilaku.

Daftar Pustaka :

Yatim, Faisal. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak. Jakarta : Obor.

Anak Autis Dengan Kelompok Yang Aktif

Anak autis yang memiliki kelompok yang aktif sangat bertolak belakang dengan yang menyendiri. Mereka memiliki cara tersendiri dalam pola perilakunya dengan lingkungan, seperti :
- Bicara lebih cepat.
- Perbendaharaan katanya banyak.
- Dapat merangkai kata dengan baik namun terkadang masih mengeluarkan kata – kata aneh yang tidak dimengerti dan tidak jelas.
- Masih ikut berbagi rasa denagn temannya.
- Terpaku pada satu jenis barang tertentu misalnya kendaraan dan sebagainya.
- Sering mengajukan pertanyaan yang menarik
- Jika pembicaraanya dipotong dan kita tidak bisa menjawab maka dia akan marah.
- Diagnosa pada kelompok ini sulit membedakannya.

Daftar Pustaka :

Yatim, Faisal. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak. Jakarta : Obor.

Kelompok Anak Autis Yang Pasif

Perilaku kelompok anak autis yang pasif agak berbeda dengan kelompok anak yang menyendiri seperti :

- Dapat mempertahankan kontak fisik.

- Mampu bermain dengan teman sebayanya.

- Perbendaharaan katanya lebih banyak meskipun agak terlambat.

- Dapat merangkai kata dengan lebih cepat namun terkadang mengeluarkan kata – kata yang tidak dimengerti.

- Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih.

- Larut dengan perubahan lingkunganya.

- Gangguan kelompok ini lebih ringan daripada dengan yang menyendiri.

Daftar Pustaka :

Yatim, Faisal. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak. Jakarta : Obor.

Menyendiri Pada Anak Autis

Anak autis dalam interaksi social biasanya menyendiri seperti :
- Menghindari kontak fisik dengan lingkungannya, meskipun pada awalnya biasa saja namun hanya terjadi secara singkat. Tidak mampu menciptakan pergaulan yang akrab dengan teman sebayanya.
- Kurang bisa menggunakan kata – kata meskipun usianya semakin bertambah.
- Menghabiskan waktunya sendiri.
- Melakukan sesuatau secara berulang –ulang.
- Tergantung pada kegiatan sehari hari secara rutin.
- Mengeluarkan suara - suara yang aneh.
- Gerakan tangan.
- Mudah marah.
- Merusak mainan milik sendiri.
- Menyerang teman sepermainanya.


Daftar Pustaka :

Yatim, Faisal. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak. Jakarta : Obor.

Pemeriksaan Pada Anak Autis

Pemeriksaan CT scanning dan pneumo enchepalogram :

● Ventrikel pada otak tidak normal, terutama pada bagian temporal.

● Pelebaran ventrikel lateral otak.

Pemeriksaan Hispatologi :

● Sel –sel yang terbentuk di daerah hipocampus tidak normal dan amygdala di kedua sisi otak.

Pemeriksaan EEG :

● Kelainan tidak khas, tampak discharge temporal.

Laborarotium :

● Banyaknya pembuangan zat phenil keton melalui air seni (phenil ketonuria).

● Kurang mampu berkhayal (imaginasi).

Daftar Pustaka :

Yatim, Faisal. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak. Jakarta : Obor.

Penyebab Terjadinya Autis

Penyebab terjadinya autis belum diketahui secara pasti namun kemungkinan adanya kelainan saraf system saraf (neurology). Di era 50an diketahui penyebabnya dikarenakan pengaruh perlakuan orang tua dimasa anak –anak. Di era tahun 40an menurut Dr. Leo Kanner bahwa orang tua dari anak autis tidak memiliki kehangatan dalam membesarkan anaknya. Pada teori ini orang tua malah mengalami rasa penyesalan dan melakukan psycho terapi karena merasa dihina oleh teori tersebut. Belum ada data yang membuktikan bahwa penyebab autis karena perilaku orang tua.
Akhir – akhir ini para ahli mengakui bahw a penyebab autisme terjadi karena kelainan luhur di daerah otak. Kelainan fungsi ini terjadi karena trauma 0trauma yang dilami anak seperti :
- Bayi dalam kandungan keracunan kehamilan seperi (toxemia gravidarum), infeksi virus rubella, virus cytomegallo dan sebagainya.
- Kekurangan oksigen (anoksia) pada saat proses setelah kelahiran.
- Pembentukan otak yang kecil misalnya vermis otak kecil yang lebih kecil (mikrosepali), pengerutan jaringan otak (tuber sclerosis)
- Kelainan metabolisme seperti Penyakit Addison (infeksi tuberkulosa dan bertambahnya pigmen tubuh dan penurunan mental).
- Kelainan kromosom misalnya syndrome chromosoma X, sindroma chromosom XYY.

Daftar Pustaka :
Yatim, Faisal. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak. Jakarta : Obor.

Senin, 15 Maret 2010

Ciri Utama Anak Autis

Ciri – ciri utama autis, antara lain :
- Tidak peduli dengan lingkungan sosial
- Tidak bisa bereaksi normal dengan pergaulan sosialnya
- Perkembangan bahasa dan cara bicaranya tidak normal ( penyakit kelainan mental pada anak = autistic children)
- Reaksi atau pengamatan terhadap lingkungan terbatas dan berulang –ulang dan teratur.

Gejala ini bervariasi beratnya pada setiap kasus tergantung pada umur,
intelegensi, pengaruh pengobatan dan sebagainya. Anak autisme biasanya berbicara cepat namun tak memiliki arti.dan kadang diselingi suara yang tidak jelas seperti gemeretak gigi.
Kebanyakan intelegensi anak autis rendah. 20 % anak autis masih mempunyai IQ > 70. Kemampuan khusus seperti berhitung, membaca, menggambar dan menghafalnya kurang. Anak autis biasa terjadi pada anak laki – laki, 3-4 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan.

Yatim, Faisal. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak. Jakarta : Obor.

Pengertian Autisme

Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘autos’ yang artinya sendiri. Istilah ini menggambarkan anak pikiran dan perilakunya terpusat pada diri sendiri. Jadi autis adalah gangguan perkembangan pada anak yang mencakup bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Pada anak autis terjadi gangguan perkembangan dan fungsi susunan saraf pusat yang menyebabkan gangguan fungsi otak, terutama pada fungsi pikiran, pemahaman dan komunikasi dengan orang lain.

Menurut badan kesehatan dunia WHO perbandingan anak autis dengan anak normal yaitu 1:100 termasuk data di Indonesia. Anak autis tidak banyak memiliki masalah medis namun mengalamai penyaki gigi dan mulut yang lebih berat karena koordinasinya kurang normal. Biasanya dia melakukan hal yang rutin dan teratur.



Daftar Pustaka :

Maulani, Chaerita. 2005. Kiat Merawat Gigi Anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.